ENTAH bagaimana awalnya. Bunda minta aku mengirimkan fotoku. “Pakai apa?” tanyaku. Bunda bilang, “Pakai hape. Emak kangen!” Jadi, aku berpikir lama untuk memotret mukaku sendiri. Itu butuh seharian. Semalam aku mimpi buruk. Ceritanya, teman-teman meninggalkanku semua, hanya karena insiden bodoh: aku tertidur saat membuka sebuah diskusi! Lalu ada seseorang yang merekamnya, esoknya diunggah ke facebook, dan isi semua komentar menertawaiku. Satu demi satu dari temanku minta maaf karena harus mengakhiri pertemanan-dalam-ruang-facebook! Itu sangat memalukan, kata mereka.
Aku sedih sekali. Bangun tidur, tahu-tahu mataku sudah basah. Semuanya tampak menyedihkan untukku. Saat itulah Bunda meneleponku dan minta fotoku.
Tapi aku membiarkan permintaan Bunda. Seharian kulewati dengan membaca buku. Ini hiburan yang selalu kunikmati di saat aku kesepian dan masa bodoh. Aku teringat masa-masa di Jogja: sendiri di kos, tidur setahun di kampus, lalu sendiri lagi di kos; seakan-akan itu bayanganku sendiri hingga aku kembali lagi dalam situasi tersebut.
Akhirnya, menjelang petang, aku memutuskan untuk cukur rambut.
Aku menelepon Bunda melalui handpone Kakak, “Mak, geus dideuleu encan?”
“Kok kuru,” kata Bunda, lalu lanjutnya, “Kok kedeuleuna geus kolot. Senang cageur kan?”
Bunda rupanya melihat mukaku yang menyedihkan: raut tirus, peyot, dan kurus—dalam naungan rambut pendek. Dan yang lebih khawatir lagi: kantung mata tebal di pelupuk mataku. Dia bertanya-tanya: Ada apa? Kamu sehat kan?
“Ya, aku sehat, Mak,” jawabku, cepat. “Cuma kurang tidur saja.” Aku meyakinkan Bunda.
Dari mula aku memang ragu-ragu karena kantung mata itu. Entah bagaimana persisnya, pelan-pelan di pelupuk mataku, dengan lekukan yang tambah mencembung, terbentuklah kantung mata itu. Ia terlihat seperti muka seorang prajurit yang kalah perang. Atau kaum gaucho yang kalah taruhan. Pendek kata, seperti seseorang yang tak pernah tidur dalam hidupnya…
Memang, belakangan ini, aku sulit tidur. Kos ini sepi sekali. Dihela sebuah kamar, ada sepasang suami-istri yang menempati kamar di dekat pintu rumah. Si suami dari Padang, si istri dari Karawang. Mereka ribut, tapi aku sendiri tak mengerti bahasanya. Si Padang pernah teriak “pantek!” “pantek!” “pantek!” kepada si Karawang. Istrinya penurut betul: masak harus tepat waktu, belum boleh tidur sebelum suaminya pulang, lalu mempersiapkan makan dini hari sekali. Singkatnya, aku benci perilaku mereka.
Selebihnya, hening. Atau kalau ingin kutambahkan, suara kipas di dalam kamarku. Aku tak suka dengan rasa sepi. Itu mengingatkanku dengan masa-masa sendiri di Jogja. Meski aku sudah empat kali pindah kos, namun kos terakhirlah, di H10, yang membuat aku memiliki banyak teman. Kami biasa bercanda seharian. Lari pagi bersama, main kartu bersama, bekerja bersama, masak dan makan bersama. Pokoknya menyenangkan. Kau tahu, hidup tanpa teman seperti mengajari sebongkah batu bicara. (Belakangan satu dari kami meninggal Agustus tahun ini).
Mimpiku juga aneh-aneh. Pernah aku bertemu dengan teman-teman dekat SMA. Kukenali semua wajah mereka. Tapi aku lupa nama. Mereka, dengan sikap biasa, memanggilku, persis seperti kami mengobrol saat SMA. Tak ada yang perlu dipamerkan, seakan kami bertemu setiap hari. Namun aku kikuk. Aku tak berani memanggil nama mereka, hanya bilang “kamu” seolah-olah tak ada perbedaan antar “A” dan “Z” atau semua lelaki adalah sama dan begitupun semua perempuan adalah sama. Aku terbangun dan berkeringat, pagi-pagi sekali. Aku tak tidur lagi, lekas mandi, tapi sesudah jam 10 pagi hingga petang, aku menahan kantuk berat!
Aku mendengar suara Ayah keras sekali; baru pertama dalam hidupku, Ayah berteriak penuh semangat. Mungkin itu berasal dari kejadian berbulan-bulan lalu, lantas muncul dalam mimpiku. Sepulang dari ladang, masih dengan pakaian basah keringat dan kaki telanjang, serta kepala tertutup caping jerami, Ayah muncul dari depan pintu dan marah-marah kepada Si-Nenek-Sihir-Pembohong yang umurnya setua tubuhnya. Ayah membentak, sambil menahan dengus nafas, sementara dari balik lemari, yang membagi ruang tengah, aku terkejut bukan main, memejamkan mata, dan setelah mataku terbuka, aku melihat tubuhku mengecil, kembali seperti bocah usia 7 tahun. Aku ketakutan setengah mati. Di suatu tempat, suara Ayah tiba-tiba mengecil, dan kemudian terdengar seperti lolongan—seseorang yang minta tolong dari balik suatu jurang. Aku tergeragap. Tubuhku berkeringat deras.
Menunggu sore, aku menelepon. Langsung saja, “Aku ingin bicara dengan Ayah.” Di ujung telepon, suara Ayah cuma menggeremang, terdengar seperti suaraku sendiri.
Memang Ayah tak biasa ditelepon. Jarang sekali Ayah mau diajak bicara ketika aku minta handpone Kakak dialihkan ke Ayah. Dia bukan tipe-Ayah-yang-bicara-bebas-di-udara. Tapi ayah punya bakat bercerita. Kalau aku main ke rumah-masa-kecilku, aku suka tidur dekat Ayah, di depan televisi. Di tengah selimut nyamuk-nyamuk, dimulai dari ladang yang dibajaknya, Ayah bercerita tentang masa mudanya, dari Binangun hingga Bandung, dari pedalaman Gombong hingga lautan utara Jawa. Semuanya jernih. Suaranya adalah ninabobo bagi anak-bungsunya yang pathetic. Kehidupan dari mulut Ayah seperti tali karet yang diikat sepanjang usiaku, di mana aku memegang kedua ujungnya lalu membaling-balingkannya seperti anak SD bermain skipping.
Aku makin yakin dari mimpi-mimpiku, terutama di tengah bulan puasa ini (alasan yang dibuat-buat sebetulnya), aku harus segera mengakhiri rasa sepi, mungkin dengan cara bersandar pada keinginanku yang akhir-akhir ini berdengung terus dalam kepalaku. Dalam mimpi terakhir, setelah semua teman pergi satu-satu, aku lebih banyak percaya kepada teman lama, yang telah membuatku merasa hadir di dunia, tidak menjadi seorang “alien in stranger city.” Aku mengucapkan tutup-buku kepada semua orang, lantas pergi jauh dari Jawa, menuju luar Jawa, menghabiskan sisa hidupku di sana, lari dari keterbatasan menuju daerah terra incognito, yang super-serba-terbatas. Aku pergi ditemani perempuan yang sudah kukenal lama, laiknya garis-garis telapak tanganku sendiri, yang kelak menjadi “my-beloved-wife.”
Perpisahan itu membuatku sedih. Seperti adegan penutup sebuah drama di atas panggung yang konyol tapi sad ending. Ketika aku terbangun, airmataku sudah merebak…
Ah…, selamat menunaikan ibadah menulis, pikirku.[]
No comments:
Post a Comment